Rabu, 01 Mei 2013

Dasar Penetapan NU dalam Fatwa Hukuman Mati Bagi Koruptor

Dasar Penetapan NU Tentang Fatwa Hukuman Mati Bagi Koruptor
1. Ayat Alquran

a. Surat Ali Imran ayat 161 :
“Dan tidak mungkin seorang nabi berkhianat (dalam urusan harta rampasan perang). Barang siapa berkhianat, Niscaya pada hari kiamat dia akan datang membawa apa yang dikhianatinya itu. Kemudian setiap orang akan diberi balasan yang sempurna sesuai dengan apa yang dilakukannya dan mereka tidak didzalimi.”
 Menurut Al-Qurtubi dalam kitab tafsirnya Al-Jawami’ Li Ahkam Al-Qur’an :
Bahwasanya ghalul (Korupsi) merupakan salah satu dosa besar dengan berdasar pada ayat diatas dan hadits Abu Huraira yang mengatakan, bahwa hukuman bagi orang yang melakukan ghalul (Korupsi) yaitu dengan dipotong lehernya (di bunuh). {Al-jami’ Li Ahkam Al-Qur’an/ Tafsir Al-Qurtubi, Karya Muhammad bin Ahmad bin Abu bakar bin Farh Al-Qurtubi. Dan diperkuat oleh Imam Ahmad Abd ‘Alim Al-Birduni, Kairo, Daaru Al-Sya’ab, Tahun 1372 H, Cetakan ke-2, Juz 4, Hal. 258).


b. Surat Al-Maidah ayat 33-34 :
“Hukuman bagi orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di bumi, hanyalah dibunuh atau disalib atau dipotong tangan dan kaki mereka secara silang, atau diasingkan dari tempat kediamannya. Yang kemudian itu kehinaan bagi mereka di dunia, dan diakhirat mereka mendapat azab yang besar. Kecuali orang-orang yang bertobat sebelum kamu dapat menguasai mereka; maka ketahuilah, bahwa Allah maha pengampun lagi maha penyayang.”
Tafsir Ibnu Katsir
Lafad muharabah pada ayat dia atas mempunyai arti melawan, bertentangan (kontradiksi). lafadz tersebut dikatakan terhadap perbuatan-perbuatan kufur, merampok, serta membuat ketakutan (ancaman).
Adapun lafad “al-ifsad fil ardi” menujukkan terhadap segala bentuk perbuatan jelek, sampai-sampai jumhur ulama’ salaf yakni diantaranya Sa’id bin Musib berkata : “sesungguhnya merampas dinar dan dirham (harta) itu adalah termasuk membuat kerusakan di bumi sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Baqorah ayat 205 berbunyi: “Dan apabila dia berpaling (dari engkau), dia berusaha untuk berbuat kerusakan di bumi serta merusak tanaman-tanaman dan ternak, sedang Allah tidak menyukai kerusakan. {Tafsir Ibnu Katsir, karya Abu al-Fidaa’ al-Haafid Ismail bin Katsir, Beirut, Darul al-Fikr, Tahun 1401 H, Juz 2, Hlm 48.}

Ahkam Al-Qur’an Al-Jasshosh
Menurut imam Al-Jasas, bahwa lafad “Al-Muharabah” pada ayat diatas menunjukkan terhadap orang yang melakukan dosa besar walaupun orang tersebut beragama Islam. Sesuai dengan Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Zaid bin Aslam dari ayahnya : sesungguhnya Umar bin Khattab menjumpai Muadz sedang menangis kemudian umar bertanya, Kenapa anda menangis? Muadz menjawab “saya mendengar Rasulullah bersabda : “memperkaya diri dengan harta riba adalah termasuk perbuatan syirik, dan barang siapa yang memusuhi para wali-wali Allah maka dia sudah termasuk memerangi Allah akan tetapi tidak dikatakan murtad. Dan barang siapa memerangi orang islam untuk diambil hartanya maka juga termasuk memusuhi para wali Allah. {Ahkam Al-Qur’an, Abu Bakar Ahmad bin Ali Ar-razi Al-jassas, dan diperkuat oleh Imam Al-Qamhawi, Dar Ihya AtTurats Al-Arabiy, Beirut, Tahun 1405 H, Juz 4, Halaman 51.}

2. Hadits
“Dari Imam Dailami Al-Himyari r.a. berkata : Saya bertanya kepada Rasullah S.A.W. Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami berada di tempat yang dingin, sedang kami melakukan pekerjaan yang keras kemudian kami membuat semacam minuman yang terbuat dari gandum supaya kami kuat melakukan pekerjaan kami dan atas dinginnya tempat kami. Rasul bertanya : Apakah itu memabukkan? Saya menjawab : Iya wahai Rasulullah, kemudian rasul mengatakan: maka jauhilah minuman itu. Kemudian saya mendatangi Rasul kehadapanya beliau dan bertanya sekali lag, kemudian Rasul bertanya kembali : apakah itu memabukkan. Saya menjawab: iya wahai Rasulullah. Kamudan rasul berkata : maka jauhilah!. Kemudian aku berkata : sesungguhnya orang-orang itu tidak meninggalkannya wahai Rsulullah. Kemudian rasul berkata : apabila orang-orang itu tidak meninggalkannya maka bunuhlah!. (HR. Imam Ahmad dan Imam Abu Daud)



3. Pendapat Para Ulama

Kitab Tukmilah Al-Majmuu’ Syarh Kitab Muhaddzab : Imam Nawawi.

Dalam kitab “Tukmilah Al-Majmuu’ Syarh Kitab Muhaddzab”, Membunuh (hukuman mati) termasuk jenis hukuman yang paling berat dan diterapkan terhadap jarimah-jarimah yang berat pula. Yaitu jarimah yang membahayakan terhadap kemaslahatan umum dan jarimah-jarimah yang dapat merusak jaminan sosial yang dapat mengahancurkan tatanan negara.
Madzhab imam Hanafi membolehkan penerapan hukuman mati bagi orang yang melakukan kejahatan yang mana kejahatannya tersebut tidak akan berhenti kecuali dengan dihukum mati, seperti orang yang berulang kali melakukan kejahatan penipuan mengambil harta orang lain. dan orang yang merusak negara dengan cara ifsad (berbuat kerusakan), berbuat dalim (jahat), mencuri, dan kejahatan lainnya yang dapat membahayakan kemaslahatan umum.
Menurut imam Malik dan sebagian madzhab imam Ahmad juga membolehkan penerapan hukuman mati, seperti dalam menghukum mati mata-mata orang islam yang dapat merusak kemaslahatan umum. adapun imam Syafi’e berbeda pendapat dengan imam Ghazali sebagaimana disebutkan dalam kitab “Al-Wajiz” menyebutkan : Tidak boleh menerapkan hukuman mati (membunuh) dalam keadaan apapun, baik sebagai pelajaran (hukuman) atau bahkan sebagai pemulihan (perbaikan).
Akan tetapi menurut imam Ibnu Qayyim membolehkan penerapan hukuman mati bagi orang-orang yang mnegajak untuk berbuat bid’ah seperti golongan Tajahum, syiah, dan golongan yang ingkar terhadap takdir. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan imam Ahmad dalam kitab musnadnya yang berbunyi :
“Dari Imam Dailami Al-Himyari r.a. berkata : Saya bertanya kepada Rasullah S.A.W. Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami berada di tempat yang dingin, sedang kami melakukan pekerjaan yang keras kemudian kami membuat semacam minuman yang terbuat dari gandum supaya kami kuat melakukan pekerjaan kami dan atas dinginnya tempat kami. Rasul bertanya : Apakah itu memabukkan? Saya menjawab : Iya wahai Rasulullah, kemudian rasul mengatakan: maka jauhilah minuman itu. Kemudian saya mendatangi Rasul kehadapanya beliau dan bertanya sekali lag, kemudian Rasul bertanya kembali : apakah itu memabukkan. Saya menjawab: iya wahai Rasulullah. Kamudan rasul berkata : maka jauhilah!. Kemudian aku berkata : sesungguhnya orang-orang itu tidak meninggalkannya wahai Rsulullah. Kemudian rasul berkata : apabila orang-orang itu tidak meninggalkannya maka bunuhlah!.” (HR. Imam Ahmad dan Imam Abu Daud).
Dan hal tersebut sebagaiman sudag tercermin dalam kehidupan orang Islam yang mana imam Bin Abdu Aziz membunuh golongan kodariah karena mengajak melakukan bid’ah. {Tukmilah Al-Majmu’ Syarh Al-Muhaddzab, Muhyi Ad-din Yahya bin Syarif An-Nawawi, Juz 26, hlm 241-242)

Kitab Bughyat Al-Musytarsidin
Sebagaimana yang sebutkan oleh imam At-Thabari dalam kitabnya “At-Tafqih” : bahwa boleh bagi pemerintah yang berwenang menerapkan hukuman mati atas masyarakat yang berbuat dalim dan menyamakannya dengan lima binatang yang boleh dibunuh (Fawasiq Al-Khams) yakni, ular, burung gagak, tikus, anjing galak, dan kalajengking karena sangat membahayakan.
Adapun menurut imam Asnawi sebagaimana yang dikutip dari imam Ibnu Abd As-Salam yang mengatakan bahwa bagi orang berwenang menghukum mati orang yang berbuat jahat (dalim), seperti Petugas pajak dan semacamnya dari pemerintahan yang dalim agar masyarakat terbebas dari kejahatannya (Bughyat al-Musytarsyidin, Abd Ar-Rahman bin Muhammad bin Husain bin ‘Umar Al-Mashur Ba’lawi}

Kitab Fiqh Islam : Wahbah Az-Zuhaili.
Orang berbuat jahat dan kejahatanya itu tidak akan hilang kecuali dengan dibunuh, maka boleh membunuh orang tersebut. Seperti orang yang memecah belah persatuan orang Islam dan orang-orang yang mengajak berbuat bid’ah dalam urusan agama. Sebagaiman perintah nabi untuk membunuh seorang laki-laki yang sengaja berdusta terhadap nabi. Keimpulannya : boleh hukumnya membunuh orang yang melakukan jarimah yang dapat membahayakan orang banyak, pemabuk, orang yang mengajak berbuat kerusakan, kejahatan yang dapat merusak tatanan negara (pemerintahan) dan lin sebagainya.{Al-Fiqh Al-Islam wa Adillatih, Wahbah Azzuhaili, Darul-Fiqr, Beirut, cerakan ke-3, Tahun 1409 H./ 1989 M, juz 6, Hal. 201}



Kitab Az-Zawajir : AL-Haitami
Segala yang berhubungan dengan hak adami dalam urusan taubat disyaratkan harus menyelesaikan segala tanggungan yang terdahulu. Artinya, orang yang melakukan kejahatan apabila bertaubat maka segala urusan yang berhubungan dengan hak adami selama melakukan kejahatan harus dikembalikan pemiliknya (korban). Dan apabila apabila pemiliknya tidak ada diserahkan kepada penggantinya, apabila pemiliknya mati maka diserahkan kepada ahli warisnya, dan jika ahli warisnya tidak diketahui keberadaannya maka diserahkan kepada pemerintah untuk di letakkan di baitul mal, atau kepada pemerintah yang bertugas mengurusi harta secara baik. Apabila yang demikan itu semua tidak ada sebagaimana pendapat imam Ghazali yaitu disedakahkan dengan niat yang tulus untuk bertaubat.{ Az-Zawajir “an Iqtiraf Al-Kabair, Ibnu hajr Al-Haitami, Juz 3, hlm 308.}

Kitab Asna Muthalib : Zakaria Anhori
Dianjurkan menyegerakan membayar hutang dan memisah harta wasiat apabila dalam keadaan mampu. Sebagaimana hadits Rasulullah S.A.W. : jiwa orang mukmin akan ditangguhkan sebelum melunasi hutang-hutangnya. (HR. Turmuzi).
Dalam kitab majmu’ yang dimaksud ditangguhkan jiwanya dalam hadits diatas adalah ditangguhkan jiwanya untuk menempati tempat yang mulia. Apabila tidak mampu membayarkannya maka dimintakan keiklasannya atau memindahtangankan hutang tersebut terhadap walinya atau ahli warisnya. Dan apabila orang yang mempunyai hutang mati, maka wajib hukumnya menyegerakan bagi yang mempunyai harta menuntut haknya dari harta warisannya tersebut.(Asna Al-Mutholib Sharh Rau Al-Tholib, Zakariya bin Muhammad bin Ahmad bin Zakariya Al-Anshori, Juz 4, Hal. 104}




Kitab Hiwasy As-Syirwani : Abd Hamid As-Syirwani
Dan bagi orang yang mencuri atau mengambil harta wajib mengembalikan harta yamg dicurinya dan juga wajib mengembalikan segala sesuatu yamg dihasilkan yang dicuri tersebut seperti barang yang di ghasab. Apabila pemilik sudah mengambil hartanya sebelum dilimpahkan kepengadilan, maka orang yang melakukan pencurian tersebut bebas dari tanggungan dan hukuman.


Kitab Isad Ar-Rofiqi : Muhammad bin Salim bin Said Ar-Rafiqi
Menurut kesepakatan ulama bertaubat dari melakukan dosa besar hukumnya wajib a’in. adapun untuk dosa-dosa kecil imam masih berbeda pendapat. Dan wajib hukumnya mengembalikan atau menyelesaikan segala sesuatu yang bersangkut paut dengan dengan kejahatannya. Yaitu bagi pencuri wajib mengembalikan harta yang dicuri terhadap pemiliknya atau penggantinya. Dan apabila pemiliknya meninggal maka diberikan kepada ahli warisnya. Dan apabila ahli warisnya tidak diketahui keberadaanya maka harta tersebut diserah kepada pemerintah untuk ditaruh di Baitul Mal. Atau kepada pemerintah yang berwenang mengelola harta. Apabila tidak ada yaitu disedekahkan dengan niat yang tulus. (Isad, Muhammad bin Salim, Surabaya, Al-Hiadayah Juz 2. Halaman 4)